A.
LATAR BELAKANG
Manusia sejak lahir adalah makhluk sosial yang
tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup,
manusia menempuh berbagai macam cara sesuai dengan kebutuhan, umur atau taraf
hidup, pendidikan, lingkungan, bakat dan sikap seseorang. Kesemua ini
menimbulkan kelompok-kelompok sosial dalam kehidupan manusia. Dalam masyarakat
para individu menjadi anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu. Dalam
kelompok sosial itu ditemukannya kesadaran untuk tolong menolong sesama
manusia.
Setiap orang harus menghormati hak hidup dan
keseimbangan yang selaras dalam kehidupan manusia. Tetapi pada kenyataannya,
dalam kehidupan bermasyarakat jika ada kelompok sosial atau individu yang
melakukan perilaku menyimpang sering dicemoohkan oleh kelompok sosial lain atau
manusia lainnya dan salah satu diantaranya nya adalah kaum waria. Waria (portmanteau
dari wanita-pria) atau wadam
(dari hawa-adam) adalah laki-laki yang lebih suka
berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari.
Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang
berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat
terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala
waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang
laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat
pengondisian lingkungan pergaulan. Perilaku mereka
dapat dianggap menyimpang karena melanggar norma-norma yang ada. Kehadiran
waria secara umum tidak pernah dikehendaki oleh keluarga manapun. Sebaliknya,
sangat sulit bagi waria untuk dapat lepas dari belenggu-belenggu yang sangat
kuat membelitnya. Sebagai individu mapupn makhluk sosial, waria juga mempunyai
hak untuk memenuhi kebutuhan, dan ingin merasa aman serta diakui statusnya.
Karena itulah mereka sedih, kesal dan seringkali mereka ingin bunuh diri
mengingat akan nasibnya itu.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Atmojo dalam Koeswinarno, 2004:
22 menunjukkan bahwa dari 194 waria Jakarta yang diwawancarai, bagian terbesar
dari Jawa Barat (23,71%), dimana angka ini justru sedikit lebih besar dibanding
mereka yang berasal dari Jakarta (23,19%). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak semua waria itu berasal dari
kota-kota besar di Indonesia melainkan dari kota-kota kecil yang ada di
Indonesia. Tata cara kehidupan mereka berbeda-beda ada yang melacurkan diri
jika dia tidak mempunyai pendidikan yang cukup, ada yang bekerja di salon,
perias pengantin maupun di kantor ternama jika pendidikannya cukup tinggi. Dan
waria yang berekonomi kuat biasanya membuka usaha sendiri misalnya membuka
salon, toko dan bisnis, dan lain-lain.
Tanggapan atau respon masyarakat terhadap wariapun bermacam-macam. Ada
yang menerima waria adapun yang menolak waria secara terang-terangan. Apabila
waria mempunyai sikap yang baik untuk beronteraksi denga masyarakat maka
biasanya masyarakatpun akan baik pula dengan waria tersebut. Tetapi jika sikap yang
masyarakat menentang waria secara terang-terangan itu biasanya tergantung dari
warianya sendiri, kandang terdapat pula waria yang bersifat negatif, yang
memperlihatkan penyimpangannya di masyarakat dan melanggar tata tertib atau
norma-norma yang berlaku di lingkungan tempat tinggalnya.
Pemerintah menyatakan bahwa sebagian besar waria menimbulkan masalah-masalah
sosial dan tidak dapat melaksanakan fungsi sosial dalam masyarakat. Dan pada
akhirnya instasi yang berwenang tersebut telah membina kaum waria sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sesuia dengan Ketetapan MPR nomor II/MPR/1993
yang berbunyi sasaran umum pembangunan jangka panjang yang kedua adalah
terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan
mandiri dalam susana tenteram dan sejahtera lahir batin, dalam tata kehidupan
masyarakat bangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dalam suasana kehidupan
bangsa Indonesia yang serta berkesinambungan dan selaras dalam hubungan antara
sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam dan
lingkungannya, manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana kehidupan waria dalam sebuah konteks kebudayaan mengandung
sebuah unsur pokok, yakni proses sosialisasi, realitas objektif dunia waria dan
makna serta serta pemahaman kehidupan mereka sebagai waria (Koeswinarno, 2004:
11). Dengan adanya permasalahan yang telah disebutkan terdapat beberapa
pertanyaan yang muncul Pertama, apa
sajakah masalah-masalah sosial yang ada pada kelompok waria? Kedua, bagaimana waria sebagai kelompok
merespons kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam ruang sosial mereka? Ketiga, bagaimana srategi hidup yang
dilakukan untuk tetap menunjukkan keeksistensinya Keempat, bagaimana solidaritas kelompok sosial sesama waria? Kelima, bagaimana Pemerintah melaksanakan
pembinaan terhadap kaum waria.
B.
Kelompok Sosial
Waria
Dalam kehidupan berkelompok, manusia mengguanakan pikiran dan perasaan.
Hal tersebut menimbulkannya kelompok sosial. Mayor Polak (1979) dalam
Abdulsyani, 1994: 98 berpendapat bahwa kelompok adalah suatu group, yaitu
sejumlah orang yang ada antara hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur.
Menurut Wila Huky (1992), dalam Abdulsyani, 1994: 99 bahwa kelompok merupakan
suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling berinterksi atau
saling berkomunikasi. Menurut Abu Ahmadi (1990: 95) menyatakan bahwa kelompok
sosial adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama oleh karenanya
ada hubungan antar mereka.
Di dalam masyarakat ada kelompok sosial yang disebut waria; untuk
menggantikan istilah banci, lebih mempunyai warna atua nada penghinaan kepada
seseorang yang tidak mampu menunjukkan sifat yang sesuai denga jenis kelaminnya, sebelumnya istilah ini
adalah (Wanita Wadam), tetapi karena protes ahli agama yang menaitkan dengan
Nabi Adam, maka istilah tersebut diganti. Istilah waria dianggap lebih halus
dan netral yang tak menyangkut penghinaan. Waria secara psikis sudah sangat
menderita dan hubungan seksual dengan sesama jenisnya merupakan penyaluran
biologis dan satu-satunya yang mungkin diperoleh. Kalau ada seorang waria yang
tidak melakukan itu, maka ia mempunyai cara lain dalam penyaluran hasratnya.
C.
Perilaku
Menyimpang dan Sosialisasi Kelompok Waria
Kelainan pada waria telah mempengaruhi perilakunya, sehingga masyarakat
berfikir jika waria mempuyai perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang adalah
perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat atau
bertindak tidak sesuai dengan status sosialnya. Jika seorang laki-laki
berperilaku seperti perempuan maka dianggap sebagai perilaku yang menyimpang,
karena perilaku ini tidak sesuai dengan status sosialnya sebagai laki-laki. Di
dalam masyarakat jika orang yang berperilaku menyimpang maka akan dikenai
hukuman agar mereka bisa berperilaku yang seharusnya atau agar bisa mentaati
norma-norma yang ada.
Abu Ahmadi (1992:202) menjelaskan bahwa dalam psikologi dikenal dengan
tingkah laku menyimpang. Penyimpangan tingkah laku itu disebabkan oleh adanya
kelainan psikis, yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, antara lain
kelainan seksual. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyimpangan seksual
pada kaum waria disebabkan oleh adanya kelainan psikis dan kelainan hormon yang
dibawa sejak lahir.
Secara sosiologis kaum waria tersebut mempunyai perilaku yang menyimpang.
Ronald A. Hardert (1987) dalam Vina Dwi Lanning, 2007: 96, perilaku menyimpang
adalah setiap tindakan yang melanggar keinginan-keinginan bersama sehingga
dianggap menodai kepribadian kelompok yang akhirnya si pelaku dikenai sanksi. Keinginan
bersama yang dimasudkan adalah sistem nilai dan norma yang berlaku. Perilaku
menyimpang yang ada pada kaum waria adalah sesuai yang dikatakan saprinah Sadli
(1976: 20), yaitu perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang melanggar, atau
bertentangan, atau menyimpang dari aturan normatif, dari pengertian normatif,
maupun dari harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.
Adanya perilaku menyimpang itu bisa disebabkan oleh proses sosialisasi
yang kurang sempurna terlebih untuk sosialisasi gender. Menurut Kornblum (2000)
dalam Parwitaningsih, 2010: 3.30 sosialisasi gender mengacu pada cara-cara yang
dipakai oleh masyarakat dalam mempelajari identitas gender dan berekembang
menurut norma budaya tentang laki-laki dan perempuan. Sosialisasi gender dalam masyarakat
dimulai sejak lahir. Menurut Zelditch (1985) dalam Parwitaningsih, 2010: 3.31 anak
laki-laki diharapkan oleh nilai-nilai budaya untuk lebih agresif, atletis
berkonsentrasi terutama pada karir, melaksanakan tugas yang mengarah pada
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, dan dalam sosiologi karakteristik
dari laki-laki tersebut dinyatakan dengan instrumen
role. Sedangkan perempuan diharapkan lebih perasa, lebih ekspresive, dan
lebih emosional, yang secara sosiologis disebut pula expressive role. Lebih lanjut di jelaskan akibat dari proses
sosialisasi yang kurang sempurana maka akan menyebankan perilaku menyimpang.
Perilaku menyimpang yang disebutkan dibagi menjadi dua hal yaitu:
1.
Perilaku menyimpang sebagai hasil sosialisasi tidak
sempurna
Kegagalan dalam
sosialisasi dapat disebabkan kurangnya komunikasi dengan masyarakat. Hal ini
membuat individu tidak mengetahui akan harapan-harapan yang ada dalam
masyarakat. Oleh karena itu, perialu yang dihasilkan merupakan perilaku yang
jauh dari harapan masyarakat. Orang yang demikian tidak mempunyai rasa bersalah
atau menyesal setelah melakukan pelanggaran hukum.
2.
Perilaku meyimpang sebagi hasil sosialisasi
sub-kebudayaan yang menyimpang
Kelakuan-kelakuan
yang menyimpang terjadi apabila manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan
suatu nilai sosial budaya, daripada kaidah-kaidah yang ada untuk mencapai
cita-cita.
Sebagai anggota kelompok waria juga melakukan interaksi sosial dalam
kehidupan sosial di masyarakat. Interaksi sosial sendiri dapat diartikan
sebagai hubungan-hubungan soail timbal balik yang dinamis, yang menyangkut
hubungan antara orang-orang secara perseorangan, antara kelompok-kelompok
manusia , maupun antara orang dengan kelompok-kelompok manusia (Abdulsyani,
1994: 152). Pengertian interaksi sosial menurut Roucek dan Warren Abdulsyani,
1994: 153 adalah salah satu masalah pokok karena ia merupakan dasar dari segala
proses sosial. Interaksi merupakan
proses timbal balik, dengan mana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku
reaktif pihak lain dan dengan demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain.
D.
Masalah Sosial
Waria
Kelompok waria merupakan salah satu kelompok sosial yang adalah dalam
masyarakat dan mempunyai perilaku yang menyimpang. Hal ini dapat mengakibatkan
adanya masalah sosial pada kaum waria mapun masyarakat sekitar. Menurut
pendapat Horald A. Phelps yang dikuti oleh Abdul Syani (1994: 183), ada empat
sumber timbulnya masalah sosial, yaitu:
1.
Yang berasal dari faktor-faktor ekonomis, antara lain
kemiskinan, pengangguran dan sebagainya.
2.
Yang bersal dari faktor-faktor sosiologis, sperti
sakit-sakit saraf, jiwa, lemah ingatan, sawan mabuk alkohol, sukar menyesuaikan
diri, bunuh diri, dan lain-lain.
3.
Yang berasal dari faktor-faktor kebudayaan sperti
masalah-masalah umur tua, tidak punya tempat kediaman, janda, perceraian,
kejahatan, dan kenakalan anak-anak muda, perselisihan-perselisihan agama, suku
dan ras.
Menurut Soerjono Soekanto (1981) dalam Abdulsyani (1994: 184),
menegaskan bahwa masalah sosial akan terjadi, apabila kenyataan yang dihadapi
oleh warga masyarakat berbeda dengan harapannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa
masalah sosial menyangkut persoalan yang terjadi pada proses interaksi sosial.
Menurut Roucek dan Warren (1984) dalam Abdulsyani (1994: 184),
mengartikan masalah sosial sebagai masalah yang melibatkan sejumlah besar
manusia dengan cara-cara yang menghalangi pemenuhan kehendak-kehendak biologis
dan sosial yang ditetapkan mengikuti garis yang disetujui masyarakat.
Menurut Daldjuni (1985) dalam Abdulsyani (1994: 184) masalah sosial
adalah suatu kesulitan atau ketimpangan yang bersumber dari dalam diri
masyarakat sendiri dan membutuhkan pemecahan dengan segera, dan sementara itu
orang masih percaya akan masih dapatnya masalah itu dipecahkan.
Menurut R. Soetarno (1986: 58) pengertian masalah sosial sebagai suatu
masalah yang timbul karena adanya kebutuhan0kebutuhan yang tidak atau belum
terpenuhi. Cara memecahkan masalah sosial menurut dia adalah sebagia berikut:
1.
Persiapan mental
Secara garis besar
dapat dikatakan bahwa persiapan mental yang dimaksud antara lain:
a. Memiliki mental
yang sehat.
b. Memahami dan
mengerti secara sadar bahwa kita sedang mengahdapu persoalan sehingga kita
berusaha memecahkan atau mengatasi.
c. Merumuskan secara
teoritis langkah-langkah yang akan ditempuh dalam memecahkan masalah.
d. Jalan terakhir
jika segalah usaha gagal ialah menagkui realitas, menyerahkan soal itu kepada
Tuhan.
2.
Mengambil tindakan dengan langkah-langkah:
a. Menghubungkan
dengan teori, mksudnya kita harus berpikir dan mengerti akan masalah yang kita
hadapi.
b. Memecahkan masalah
dengan tahap-tahap:
1. Minat dan perhatia
kita timbul, kita menyadari akan adanya masalah
2. Timbul berbagi kemungkinan
pemecahan masalah
3. Konsekuensi
kemungkinan itu kita selidiki
4. Keputusan itu kita
laksanakan.
Kaum waria adalah makhluk sosial yang juga mempunyai kebutuhan dalam
kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, dan memperkuat ekonomi,
kaum waria juga mencari nafkah sesuia dengan kemampuannya. Sedangkan untuk rasa
aman, memperoleh perlindunagn, rasa bebas dan diakui keadannya, mereka
memeperkuat solidaritas kelompoknya serta mendirikan organisasi waria. Untuk memenuhi
kebutuhan seks adanya rasa memiliki, mencintai dan dicintai, mereka berpacaran
dengan sesama laki-laki. Adanya harga diri, penilaian yang mantap terhadap
diri, dihormati dan memperlihatkan kemampuannya, mereka membentuk kelomopk kesenian,
olah raga dan mengikuti festival kecantikan, merias dan sebagainya.
Timbulnya perselisihan antara kelompok waria dengan masyarakat, terutama
terjadi saa mereka turun jalan yaitu diejek atau dilecehkan oleh sekelompok
pemuda/pemudi. Begitu pula tamu yang dimaksud mengadakan transaksi seks tetapi
ternyata hanya mau iseng saja. Pada saat para waria mengadakan aksi turun jalan
di saat mereka menarik perhatian tamu biasanya mereka sampai menganggu
kelancaran lalu lintas. Penyebab lain adalah perselisihan mereka dengan
pacarnya yang dianggap tidak tahu balas budi. Laki-laki yang mau tinggal
serumah dengannya mereka biayai hidupnya oleh waria. Pada waktu mereka
melepaskan diri mereka karena sudah selesai sekolahnya atau sudah beristeri,
waria marah sekali kadang sampai mau bunuh diri tau membunuhnya dan dianggap
pacarnya itu tidak tahu balas budi. Selain itu, perlakuan yang cukup sinis yang
dilakukan oleh petugas tahanan atau satpol pp yang biasanya membuat mereka
sakit hati.
E.
Kerjasama Kelompok
Waria
Dalam proses interaksi sosial antara kaum waria dengan sesamanya
mempunyai kerjasama yang cukup baik. Rata-rata alasan yang digunakan waria jika
ditanya mengapa mereka bergabung dengan sesama waria adalah untuk mencari
teraan yang mempunyai tujuan yang sama. Alasan tersebut memang cukup logis karena
jika dihubungkan dengan teori sosiologi menurut Charles Horton Cooley dalam
(Abdulsyani, 1994: 156) kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka
mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan-kepentinagn tersebut melalui kerja sama; kesadaran akan
adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan
fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna. Untuk menunjukkan kerja
sama diantara sesama waria biasanya dapat kita lihat dengan pembagian tugas
dalam sebuah organisasi waria menurut kemampuannya misalnya, seksi olahraga,
kesenian, adanya kebiasaan yang perlu ditaati misalnya memberi uang kepada yang
tidak menerima “tamu” dan memberikan nasihat supaya tidak kena sanksi. kerja
sama rasa ataupun kebersamaan juga dapat dinyatakan sikap yang berarti bahwa
teman waria dianggap keluarga sendiri, teman waria yang merupakan tempat
penyelesaian masalah, dan bagi yang aktif di organisasi waria berusaha untuk
memajukan organisasi tersebut serta adanya ketergantungan antara sesama waria.
F.
Respons dan
Strategi hidup Waria
Turner (1997) dalam Koeswinarno, 2004: 132 menjelaskan ada 4 ciri utama
di dalam kehidupan komunitas, yakni tidak adanya perbedaan, equilitarian, atau
kesamaan, eksistensial, dan antistruktur. Ciri pertama dalam komunitas adalah
tidak adanya perbedaan antar pribadi. Dengan kata lain, hubungan yang mereka
alami adalah hubungan antar pribadi yang tidak terbedakan, sebab di dalam
relitas perbededaan antar pribadi di dalam masyarakat cukup menyolok, yang
disebabkan karena konteks struktural sosial. Struktur telah menempatkan
individu pada status dan peran di dalam masyarakat, sehingga di dalam komunitas
perbedaan-perbedaan itu tidak didiaptkan. Kemudian, adanya equalitarian atau
adanya kesamaan ditunjukkan dengan munculnya pengalaman dan perasaan kesamaan antarpribadi.
Mereka berhubungan tanpa perantara, oleh sebab itu hubungan dicirikan dengan
sifatnya yang non-rasional yang lebih condong pada dominansinya perasaan dan
intuisi. Selanjutnya siri berikutnya adalah eksistensial, dimana hubungan antar
pribadi disebabkan karena eksistensi manusia. Itu sebabnya yang paling berperan
dalam hubungan tersebut adalah kesatuan pribadi. Ciri terakhir adalah
antistruktur, antistruktur terjadi karena tidak adanya struktur sosial,
sehingga seolah-olah tanpa aturan.
Keempat ciri itu benar-benar terpenuhi di dalam praktik kehidupan
komunitas waria. Ketika seorang waria hidup dalam suatu wilayah secara
bersama-sama mereka tidak menggap akan adanya perbedaan-perbedaan yang ada.
Mereka benar-benar hidup dalam kesamaan, karena pengalaman dan perasaan yang
sama.mereka tidak mengenal aturan-aturan tertentu dalam hubungan antarpribadi
di lingkungan sosialyang menjadi kantong-kantong waria. Aturan-aturan justru
muncul karena status mereka sebagi warga negara. Aturan dibuat atas dasar
kesepakatan antara waria dengan lingkungkungan sosial, bukan diantara waria di
lingkungan yang sama. Itu sebabnya meski semua orang tahu bahwa pekerjaan
mereka adalah pelacur, mereka tidak pernah mempermasalahkannya.
Melakukan kolusi dengan memberikan pelayanan seks cuma-cuma kepada kaum
pemuda dimana mereka tinggal merupakan salah satu strategi yang dilakukan waria
untuk dapat diterima di masyarakat. Pelayanan ini tentu saja daam perspektid
yang agak berbeda bisa dipandang sebagai salah satu cara perlindungan diri,
baik secara kelompok maupun individu. Kejadian ini bisa dihubungkan dengan
teori perspektif konflik di sosiologi dan diperkuat dengan pendapat Sullivan
(2004) dalam Parwitanigsih, 2010:
9.19-9.21) bahwa masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok-kelompok dalam
menguasai sumber-sumber yang bersifat langka. Keberadaan individu kurang
mendapatkan perhatian karena individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi
kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap
masyarakat.
Dengan adanya kejadian tersebut, waria yang berprofesi sebagai pelacur
lebih dapat diterima daripada wanita yang berprofesi sebagi pelacur. Semua itu
dilakukan pula agar harmoni individu dengan masyarakat dapat tercapai dalam
suatu lingkunagn sosial, meski dilakukan oleh waria dengan penuh keterpaksaan.
G.
Pembinaan Waria
Melalui Dinas Sosial
Kaum waria dianggap merupakan salah satu masalah sosial. Pemerintah
telah berusaha melakukan pembinaan antara lain: (1) mengadakan operasi
penertiban dijalanan; (2) memberikan pembinaan melalui kegiatan program atau
proyek rehabilitasi keterampilan pribadi; dan (3) memberiakn bantuan Usaha
Ekonomi Produktif yaitu usaha salon kecantika.
Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kotamadya biasanya memberiakan
penyuluhan dan bimbingan terhadap para waria berupa penyuluhan mental, sosial,
keagamaan, untuk bekal bermasyarakat atau menyesuaikan diri.
Kesulitan yang biasanya dihadapi oleh Dinas Sosial dalam menghadapi
waria atau dalam melakukan rehabilitasi adalah : (1) kelainan mental yang lebih
kompleks; (2) keterbatasan kegiatan proyek yang diberikan oleh program pusat;
(3) belum ditemukan metoda khusus dalam memberikan bimbingan atau penyaluran
yang lebih mendekati dunia waria; (4) belum terjalin dengan baik dan konsisten
dalam komunikasi dan konsultasi antara oraganisasi waria dengan Dinas Sosial;
(5) dan dimanfaatkannya secara intensif para waria yang berhasil dalm usaha
mereka.
Para waria sudah mengajui memang ada pembinaan dari Pemerintah, namun
meraka mengggap jika belum sesuai denagn apa yang diharapkan. Waria yang telah
berumur 40 tahun ke atas umumnya telah mengalami pembinaan rehabilitasi dalam
keterampilan dan memperoleh dana cuma-cuma dan memperoleh berbagai alat untuk
usaha salon kecantikan.
H.
Kesimpulan
Kaum waria dianggap oleh warga masyarakat kelompok sosial yang
berperilaku menyimpang, yang tampak dari penampilan dengan berdandan secara
berlebihan. Secara sosiologis mereka dianggap mempunyai perilaku meyimpang
karena melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, sedangkan secara
biologis mereka tidak memppunyai identitas kelamin yang sempurna dan psikis
mereka mempunyai kelainan yang mengakibatkan adanya kelainan seksual. Walau
waria adalah suatu penyimpangan sosial namun dalam kenyataanya kelompok waria
mempunyai kerjasama yang baik sekali, antara lain diwujudkan dengan cara
berdandan perempuan, pijam meminjamkan pakaian, dan cepat bertindak apabila
kaumnya dilecehkan.
Masalah-masalah sosial yang biasanya dijumpai jika kita melihat
sekelompok waria antara lain: sikap kelompok yang mengganggu ketertiban lalu
lintas, sikap petugas keamanan yang dianggap sebagia kendala bagi waria dalam
melakukan kegiatan turun jalan dan kaum pria yang sering mengganggu kaum waria.
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya pelatihan keterampilan
dan bantuan usaha ekonomi produktif.
I.
Saran
Perlu diadakannya pembinaan dari pemerintah yang dibantu doleh psikolog,
sosiolog, dokter, dan kerjasama dengan organisasi-organisasi waria. Dan
diperlukannya panti jompo untuk kaum waria yang dananya dapat diperoleh dari
pemerintah ataupun dari kaum waria itu sendiri. Panti tersebut dapat digunakan
sebagai pusat informasi kaum waria seperti mereka yang akan melakukan operasi
penyempurnaan dan ganti kelamin untuk melalui rumah sakit rujukan yang telah
ditentukan oleh Kementrian Kesehatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1990. Psikologi
Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdulsyani.
1994. Sosiologi Skematika, Teori, dan
Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Soedijati,
Elisabeth Koes. 1995. Solidaritas dan
Masalah Sosial Kelompok Waria. Tersedia dalam http://www.papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-03/03. Diunduh tanggal 09 November 2011.
Koeswinarono. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: Lkis
Parwitaningsih. 2010. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Unversitas Terbuka
Shadily,
Hassan. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sears,
David O, Jonathan L. Freedman dan L. Anne Peplau. 1985. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Lannning,
Vina Dwi. 2007. Sosiologi untuk Kelas X
SMA/MA. Klaten: Cempaka Putih
PS : DI PUBLIKASIKAN PERTAMA PADA 03 MARET 2015
Bagus Kak, terima kasih atas infonya
ReplyDeleteTerimakasih lorensa oktaviana. Inj tulisan waktu kuliah dulu. Hehe malu aslinya gak bisa nulis begini lagi yang ada malah curhatan3 gak mutu. Hahaha
Delete